Cari Blog Ini

Kamis, 31 Maret 2011

MENGANTAR ROH LELUHUR KE SORGA (Spirit Led to The Heaven of Dayak Benoaq Tribes) ( UPACARA ADAT KOANGKAI SUKU DAYAK BENOAQ )


MENGANTAR ROH LELUHUR KE SORGA
( UPACARA ADAT KOANGKAI SUKU DAYAK BENOAQ DI KALIMANTAN TIMUR )

‘Koangkai’ merupakan upacara adat terbesar dari upacara-upacara adat lain bagi suku Dayak di Kalimantan Timur, khususnya bagi suku Dayak Benoaq di Tanjung Isuy kab. Kutai. Upacara ini memerlukan persiapan dan permulaan yang cukup lama. Bisa berkisar satu setengah bulan, dengan puncak acara membunuh kerbau.

‘koangkai’ atau membuang bangkai, bukan berarti membuang bangkai seperti arti katanya. Namun punya makna yang lebih dalam, yaitu mengambil mayat dari Lungun(tempat mayat sementara sebelum diambil tulangnya) untuk dipindahkan ke ‘kleregng’. Kadang orang menyamakan lungun dengan kleregng yang sebenarnya mempunyai perbedaan khas. Lungun adalah tempat mayat terbuat dari kayu bulat yang telah dilubangi untuk menaruh tubuh mayat. Satu lungun hanya berisi satu mayat.
"Klerekng" tempat tulang-tulang leluhur yang telah diantar ke sorga ("Klerekng" the grave of The Dayak Benoaq where the bones of ancestors who had been ushered into heaven)


Sedangkan kleregng adalah tempat tulang dan tengkorak mayat yang diletakkan diatas tanah dengan penyangga dua tongkat. Satu kleregng dapat berisi tiga atau lebih tulang mayat. Ciri khas utama, kayu lungun yang masih ada mayatnya tak pernah mudah dilihat, sebab selalu dikubur dalam tanah atau disimpan dalam gubuk kecil.

Mengingat lamanya upacara dan besarnya biaya yang diperlukan, jauh sebelum upacara sudah dibentuk panitia melalui musyawarah kepala adat-kepala adat dari berbagai kampong. Di situ palu ditentukan hari permulaan, pemimpin upacara, serta siapa yang diundang.

DISANGKA ORANG DAYAK

Pagi tidak terlalu panas. Jam 08.15 wita, aku berangkat dari Tanjung Isuy menuju Lembonah tempat berlangsungnya upacara Koangkai. Jalan yang mempunyai lebar 4 meter itu terpaksa tinggal dua meter saja, karena ditumbuhi rumput ilalang. Itupun karena seringnya oto dan motor trail melewati dengan muatan nanas dari lading untuk dibawa ke pelabuhan Tanjung Isuy.

Sengaja tawaran manis untuk naik sepeda motor kutolak, karena lebih nyaman jalan kaki dengan alam yang indah. Kebun nanas yang diolah secara tradisionil menghiasi kesuburan tanah dan kemakmurannya. Namun terkadang hati ini cukup prihati melihat kebun nanas yang dikeumuni rumput alang-alng karena ditinggalkan pemiliknya untuk membuat ladang baru. Pupuk, cangkul, teknologi pertanian belum mereka gunakan. Mereka masih dimanjakan kesuburan alam. Apalagi penebangan hutan secara liar untuk membuat lading baru, belum terlintas dibenak mereka akibat nantinya. Siapa yang menebang hutan. Itulah tuan tanah nantinya.

Tak terasa perjalanan yang kutempuh sudah satu jam. Langkah kupercepat, karena jalan yang ku lalaui cukup teduh. Kadang keteduhan ini menjadi gersang dan panas karena deretan pohon besar bekas kebakaran `82.
Dari jauh tampak tumpukan nanas. Tenggorokanku sedikit lega. Astaga , sekitar 50 buah nanas di buang percuma, karena terlalu masak. Hal ini terjadi karena sulitnya transportasi.

Tiba-tiba ada orang yang menyapaku. “apa?” tiga kali kata itu ku ucapkan, karena ak
tak menegerti yang dimaksud.
“O, ku kira kau orang Dayak. Maap aku ya.” Lanjutnya setelah ak tak menegerti bahasa Dayak yang di ucapkan , seraya menyodorkan tiga buah nanas untukku. Aku hanya tersipu. Apakah aku sudah pantas jadi orang Dayak? Padahal kulitku jauh berbeda. Layaknya orang Eropa dengan Afrika ( Afrikanya ak lho ).

Memang kita tak perlu khawatir haus di tengah jalan. Karena buah nanas bias kita petik sewaktu-waktu tanpa di beli. Dengan syarat tidak untuk di jual. Buah nanas satu-satunya buah yang subur di daerah ini. Sambil menunggu besar nya pohon karet , buah nanaslah sebagai tanaman utama.

TIANG BENDERA DI DEPAN LAMIN

Jarak 13 km yang biasa di tempuh 1 jam 15 menit harus ku tempuh selama 2 jam naik turun gunung. Dengan kepenatan kaki, langsung kutuju kampung Pentat untuk beristirahat di rumah pak Ayun yang anaknya di kenal baik sebagai murid smp. Setelah istirahat sebentar , aku melihat-lihat Lamin Adat Pentat. Cukup memukau dengan kegagahanya , meskipun tak semegah aslinya karena di telan usia. Dulu Lamin ini mempunyai ketinggian 7 meter dari tanah. Namun kini tinggal 4 meter dari tanah, karena sudah mengalami rehab dua kali sejak di buat.

Lamin yang mempunyai panjang 120 meter ini , masih dihuni oleh tiga keluarga. Lamin seperti inilah sebenarnya sering di tanyakan turis-turis yang berkunjung ke Tanjung Isuy. Sebab lamin di sini sudah tidak di huni keluarga lagi , hanya berupa model saja. Mereka sering bertanya, di mana lamin masih di huni keluarga?

Memang lamin ini masih menunjukan keaslianya, meskipun atap bagian tengah sudah roboh tertiup angin. Di halaman masih berdiri kokoh dua buah tiang bendera dengan ketinggian 13 meter . saksi bisu , bahwa pada jaman penjajahan dulu masih dulu masih di gunakan untuk mengibarkan sang merah putih. Tak sebatang pohon pun tumbuh di halaman. Hanya rerumputan hijau yang sengaja tak di bersihkan dan di pelihara.

Kesunyian lamin menambah keunikan dengan gemercik air sungai Ohong yang digunakan sebagai transportasi antar kampung.

Patung-patung bekas upacara adat masih setia di tempatnya.
Tempat upacara kuangkai masih harus di tempuh satu setengah kilo. Di sini ada satu SD kecil yang menampung anak sekolah dari tiga kampung Pentat, Lembonah dan Muara Nayan.

Kesan kampung Lembonah yang sepi kini telah sirna. Yang tampak orang lalu-lalang dan orang-orang jualan makanan dan pakaian. Tak ubah nya pasar malam. Hampir setiap rumah penuh dengan pedagang. Perayaan 17 agustus di Tanjung Isuy ibu kota Kecamatan Jempang tak seramai dan semeriah ini.

Di depan lamin ramai orang berkerumun menyambung ayam sebagai acara untuk memeriahakan upacara adat. Cukup setrategis halaman lamin ini tak seperti lamin Pentat. Lamin Lembonah masih cukup megah dan terawatt dengan kesan segar. Pohon kelapa yang baru berbuah dan pohon pisang menambah kesegaran udara. Namun kadang tercemar bau aneh yang di timbulkan oleh babi di kolong lamin yang bebas berkeliaran.
Lamin Mancong Rumah Adat Suku Dayak Benoaq
(The Long House of Dayak Tribes)


Aku langsung menaiki lamin. Aku tertegun sejenak. Enam bilik lamin yang kulihat bulan April lalu hanya di huni pleh empat keluarga, kini penuh sesak dengan penghuni baru dari berbagai kampung Dayak . Tiap bilik sibuk dengan persiapan makan, kecuali dua bilik yang khusus di gunakan sebagai tenpat tidur.

MENJAGA AGAR NAAS TAK DATANG ( PAPER PATIAG PLUAS )

Di tengah lamin tampak beberapa orang baca mantera dengan irama yang khas, dengan menghadapi perlengkapan makanan untuk upacara pembunuhan kerbau besok, agar upacara tak mengalami gangguan. Di sebelah kanan terdapat tempat tulang dan alat-alat kuangkai paling ujung sebelah barat terdapat papan SELIMAT , PUTANG LEMIANG dan PERESILO

SELIMAT adalah tempat tulang tengkorak 19 mayat yang di kumpulkan menjadi satu. Tempat ini berbentuk limas dengan menara kecil 2 meter yang di gantung dengan menara burung yang sedang terbang.

Sebagai tempat tulang kerangka, di buat persegi 1x2 meter di hiasi kain ulap doyo ( pakaian khas wanita Dayak Benoaq ) berwarna warni. Di sampingnya di pasang foto remaja yang meninggal 5 tahun yang lalu dalam usia 15 tahun. Tempat ini di sebut PERESILO.

Di antara selimat dan peresilo terdapat PUTANG LEMIANG yang berbentuk piramida di gantungkan , dengan rumbai-rumbai kain dan janur sebagai alat NGERANGKAU. Sebagai langit-langitnya di gantungkan barang pecah belah dari mangkuk , piring , cangkir, ceret, sampai pada antang ( guci ). Benda-benda tersebut di gunakan sebagai upah PENYETANGIH ( pemimpin upacara kuangkai ).

KENAL KEPALA ADAT

Memang unik alat-alat tersebut. Sedang asyiknya mengabadikan benda-benda alat upacara, datang orang tua langsung mengulurkan tangan kepadaku. Hal ini kusambut dengn gembira, namun juga heran. Baru kali ini kuterima jabat tangan perkenalan. Sebab suku dayak tidak biasa berkenalan bicara langsung, apalagi berjabat tangan lebih dulu (terutama masyarakat biasa)

“Kita guru ya?" (kamu guru ya) sapanya dengan bahasa Kuitai. Ternyata dia kepala adat Lembonah, Pak Bakot. “Nanti malam ikut ngerangkau ya?” pintanya dengan senyum bangga karena pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan.

Di dalam lamin beberapa orang sibuk mempersiapkan BLONTANG sebagai tambatan kerbau yang akan dibunuh. Blontang terbuat dari kayu ulin berdiameter 50 cm tinggi 4 meter. Sebagai puncaknya dibuat patung manusia berdiri.

Sebelum blontang ditanam, patung dilengkapi dengan pakaian adat Dayak Benoaq. Di situ pula diikatkan nasi ketan dalam bambu, Mandau/parang serta panggang ayam. Itulah bakal blontang sebelum berangkat/siap dipakai dalam upacara.

MEMPERERAT TALI PERSAHAABATAN
Tari ngerangkau merupakan tarian untuk mengantar atau mencarikan jalan para roh leleuhur untuk menuju ke sorga
"Dance ngerangkau" is a dance to drive or find a way of the spirit to go to heaven


Malam harinya, upacara LURAN (pemberitahuan) berlangsung. Disini berkumpul semua kepala adat dari berbagai kampung, kepala kampung serta Tripika yang sengaja diundang. Dengan pengeras Meghapon, sambutan-sambutan kepala adat berlangsung tertib. Dengan bahasa Benoaq diberitahukan tentang pelaksanaan upacara. Selain untuk menghormati arwah yang dikuangkai, upacara seperti ini juga untuk menambah rasa kekeluargaan, persatuan masyarakat, khususnya kalangan suku Dayak Benoaq.

Bagi pendatang dari kampung tak perlu kuatir kelaparan. Jika merasa lapar sudah tersedia 5 tempat yang menyediakan makanan.
Orang-orang yang datang tanpa disuruh langsung duduk bersila mendengarkan nasihat kepala adat. Sementara itu diujung lamin ada kesibukan tersendiri. Pria wanita bersama-sama menumbuk beras silih berganti tanpa rasa malu atau malas. Sungguh menakjubkan rasa kekeluargaannya.

MEMPERLEBAR JALAN MENUJU SORGA

Dengan dipimpin penyentangih, pengikut upacara yang terdiri kepala adat, kepala desa dan sesepuh/tetua yang berjumlah 18 orang mengenakan pakaian ngerangkau. Ikat kepala dengan rumbai janur kuning merah dan hijau, serta rumbai janur ditangan kiri kanan.

Irama gong dan kenong yang klasik mengiringi tarian ngerangkau dengan gerakan tangan ke samping dan ke depan. Paling depan penyentangih menggendong dua buah tengkorak yang dibungkus kain panjang, di belakangnya menggunakan hiasan tanduk kerbau. Tarian ini dimaksudkan untuk memperlebar jalan roh yang dikuangkai untuk menuju sorga.

Tarian ini berakhir dengan teriakan tertentu dari penari setelah berputar tujuh kali. Giliran berikutnya kelompok penari wanita, yang dilanjutkan kelompok pria.
Diluar dugaanku, kepala adat menyorongkan pakaian ngerangkau kepadaku. Dengan sedikit debaran jantung dan kikuknya tarian, aku merasa puas bisa membuat orang-orang Dayak senang, karena merasa adatnya ada yang menyukai dan meng hormati.

Khusus untuk pakaian ngerangkau wanita, harus memakai tapih ulap doyo yang panjangnya hanya satu ikat dengan tali di belakang. Sehingga kalau untuk jongkok atau berjalan sedikit membuka. Namun demikian tak pernah kita temui sampai paha belakangnya tampak, karena kaum wanita selalu bercelan pendek sampai lutut. Hal ini juga yang membuat mereka bisa duduk dengan leluasa. Tak ada tabu bagi wanita, meskipun duduk bersila seperti di warung kopi.

Kecamatan Jempang sebagai pariwisata yang terkenal dengan ulap doyonya mempunyai latar belakang tersendiri. Kain doyo yang terbuat dari daun doyo, hanya terdapat di Kec. Jempang. Anehnya, tumbuhan ini hanya ada di kawasan Jempang. Bahkan th. 1982, tenun tradisional ini mewakili Kalimantan TImur untuk mengikuti pameran di Belanda.

MEMANGGIL ROH LELUHUR (ALAK LIAU)

Kerbau telah dimasukkan dalam kandang dekat blontang dengan upacara sederhana. Penyentangih membawa sesaji dari tempat kerbau bersama rombongan pria wanita untuk ngerangkau menuju halaman lamin. Sebelum berhenti didekat kuburan-kuburan adat yang jaraknya 60 meter dari lamin, rombongan ngerangkau berputar tujuh kali.
kerbau merupakan kendaraan roh leluhur untuk menuju ke sorga
buffalo is a vehicle ancestral spirits to go to heaven


Di sini mengadakan ALAK LIAU, memanggil roh-roh yang lama untuk ikut mengantarkan mayat ke sorga gunung lumut.

Kuburan suku Dayak Benoaq tak pernah jauh dari rumah, karena mereka merasa kasihan kalau jauh dari rumah. Sehingga tak ada kesan angker atau menakutkan, meskipun kuburan itu tak pernah terawatt. Ziarah bagi animism tidak mengenal. Semua kepunyaan mayat ikut dikubur, bahkan kita jumpai pula helm di atas nisantak ubahnya makam pahlawan.

Perjalanan berikutnya disertai dengan ngerangkau. Penyentangih beserta rombongan menuju lamin dengan melewati tangga yang dibuat kain merah pertanda tangga yang harus dilewati roh-roh leluhur yang telah diundang.
Jalan tersebut dilewati,disambung NASI PAKAT (nasi ketan yang dimasak dalam bamboo muda) disusun sig-zag dengan ujungnya bungkusan nasi biasa. Itulah hidangan bagi leluhur yang ikut hadir.

Penari ngerangkau melewati jalan tersebut sesuai dengan susunan jalan yang dibuat. Pada putaran yang terakhir datang seorang wanita menaburkan nasibungkus pada lantai, di ikuti penari lain. Lempar nasi cukup membuat yang hadir panic, namun meriah, karena yang terkena lemparan berusaha membalas dengan nasi yang telah tercecer di lantai.
Saat itulah undangan arwah bersuka ria karena mendapat hidangan lezat sambil menyaksikan temannya yang akan diantar ke surga.

Dibalik kegembiraan itu terdengar tangis seorang nenek yang memilukan meratapi kepergian cucunya 5 tahun yang lalu. Setiap suku Dayak Benoaq, selalu NGLARIGNG untuk menyatakan duka terhadap kepergian anggota keluarganya. Pada saat beginilah dia menngissambil menceritakan kesedihan ditinggalkan mati, serta menceritakan riwayat hidup hidup yang telah tiada. Aneh memang. Menangis dengan lagu yang khas yang tak dapat dilakukan oleh suku lain.

BEKAL KE SORGA

Hari sudah sore, langit mendung. Penari ngerangkau yang telah diberi tanda pupur putih (supaya roh yang diundang tahu bahwa mereka yang mengantar ke sorga) siap di halaman lamin.
Sebelum berangkat ke arna pembunuhan kerbau, tak ketinggalan bekal ke sorga 20 ekopr ayam dan 4 ekor babi di potong di teras lamin.

Ada dua ayam yang disabung, sengaja satu dikalahkan sebagai ternak di sorgs, sedang menang (hidup) dipelihara keluarga dan arwah yang di sorga.
Orang yang akan menyaksikan pembunuhan kerbau gelisah dan cemas. Awan hitam menyelimuti langit. Angin mendesau menerbangkan abu rumput yang baru di bakar. Kiranya alam pun merasakan hati kerbau yang sebentar lagi disiksa sebagai persembahan upacara. Kilat pun tak ketinggalan, menyatakan dukanya dengan sambaran maut diantara awan hitam.

Setelah panitia mengumumkan jumlah sumbangan dari berbagai kampung, puncak upacara dimulai. Jam ditanganku udah mengarah angka 6 kurang 5 menit sore. Kerbaupun siap dilepas dari kandangnya dengan ikatan kayu berminyak disulut api.
Tak ayal lagi, jerrit orang serentak ketika kerbau mengamuk kesakitan menyerang yang dikehendaki. Namun ikatan beberapa rotan besar membuat dia hanya bisa berputar mengelilingi blontang tambatannya. Sementra itu beberapa orang telah siap dengan tombak dan pisau untuk menusuk tubuh kerbau. Ekor yang terbakar belum padam, tubuh kerbau harus menerima tusukan-tusukan kemenangan. Dimana dia melewati orang berpisau di situlah dera tubuh nya bertambah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar