Cari Blog Ini

Kamis, 31 Maret 2011

UPACARA ADAT BUNUH BABI SUKU DAYAK BENOAQ (traditional ceremony of intention to pay for dayak benoaq)


UPACARA ADAT BUNUH BABI SUKU DAYAK BENOAQ

Kamis, 8 Mei 1986
Jam sudah menunjukan angka 08.30 WITA, ketika karni murid SMP menjemputku untuk berangkat ke kampungya Perigi. Untuk yang kedua kalinya saya pergi ke kampung ini yang jaraknya tak kurang dari 16 km. jalan kaki , dari ibukota kecamatan tanjung isuy .

Dengan bekal sesisir pisang dan tas kecil berisi pakaian aku berangkat. Sebenarnya kemarin ada yang bilang kalau ada perahu yang akan pergi ke perigi , tapi karena sudah siang tak ada berita , ak khawatir tak jadi berangkat . sebab upacara BUNUH BABI atau yang di kenal dengan BAYAR NIAT ini belum tentu setiap yahun ada . tak apalah jalan kaki. Anggap saja latihan lintas alam.

Ada kesenangan tersendiri bagiku jalan kaki di pegunungan ini. Terik matahari yang cukup menyengat karena pohon-pohon di sekitar tak ada lagi yang tumbuh rindang bekas kebakaran tahun 82. Kadang – kadang kaki berjalan sedikit terseok menginjak kerikil-kerikil pengeras jalan yang sengaja di bangun untuk menghubungkan Tanjung Isuy – Mancong dengan LAMIN ADAT DAYAK BENOAQ yang sering di kunjungi turis di kiri kanan tampak kebun nanas yang tumbuh subur dengan pagar jambu monyet.
Itulah buah yang dapat di petik bila haus di tengah perjalanan. Pemilik tidak akan marah bila kita mengambil buah tersebut , meski sampai 15 buah pun , asal tidak untuk di jual. Buah ini pun satu nya hasil perkebunan di sanping karet.

Kami berdua telah sampai di jembatan Suo. Di sini saya ingat ketika bulan Pebruari , murid SMP Tanjung Isuy tempat saya bekerja ada yang kesurupan dan minta minum-minum di jembatan Suo.
Hal itulah yang membuat saya bingung di kampung ini , apalagi baru mengajar tiga minggu. Uniknya , saya harus ikut “ upacara “ ini, sambil memimpin anak-anak. Itulah “ permintaannya”. Keanehan yang tak pernah ku jumpai di jawa.
“karena guru orang baru di sini, jadi maksudnya berkenalan “, itulah jawab dari pertanyaanku . berkenalan? Benarkah? …. Nyatanya ketika guru baru datang dari Surabaya dan jember , tak ada juga kejadian anak-anak kesurupan. Namun syukur jualah sekarang sudah tentram dengan sendirinya .

“Capek Pak ?” Karni memperlambat jalanya ketika menempuh separoh perjalanan. Aku mengiyakan. Ku cari tempat yang teduh sambil mengeluarkan pisang.
Aku mengeluh sendiri ketika dua buah pisang telah masuk perut. Tambah haus , sedangkan perjalanan selanjutnya , tak ada lagi kebun nanas. Air tak membawa , Minum Air sungai ? Warnanya merah kehitam-hitaman.

ANGKAT TANGAN

Perjalanan berikutnya berupa jalan setapak menembus rumput lalang. Waktu pertama kali saya lewat jalan ini di haruskan angkat tangan oleh rumput-rumput lalang yang tumbuh subur sampai satu setengah meter. ( persis orang yang di giring polisi karena mencopet ). Kadang pula tangan bisa tergores oleh bunga rumput muda yang berduri . untunglah jalan yang sebenarnya mempunyai lebar tiga meter itu baru di bersihkan rumputnya , meskipun dalam satu bulan sudah pulih kembali karena hanya “ di tebas” dengan parang / Mandau . dan lagi , tak banyak penduduk Perigi yang lewat sini , karena lebih nyaman lewat air dengan bensin sekitar tiga liter menuju Tanjung Isuy. Hanya sekitar enam siswa smp saja yang setiap minggu rutin pulang kampung.

Tak kurang dari enam puncak bukit kami lalui , hingga jam 11.30 tiba di kampung Perigi yang luasnya 8.900 Ha dengan jumlah penduduk 406 jiwa. Kebetulan kampung yang letaknya di tepi sungai Ohong ini sedang banjir karena air naik . Karni mencari perahu untuk menyeberang kerumah nya. Lantai rumah yang dulu tingginya 1,5 m dari tanah , kini telah basah oleh air. Sehingga aku cukup mandi di tangga teras.

Sedang santainya duduk mengeringkan rambut , datang orang laki-laki mendayung perahu. “ nanti datang kerumah pak ! ”. sapanya setelah keluar dari rumah Karni. Dia pergi lagi kerumah sebelah. Karni menjelaskan bahwa di rumah itulah yang nanti malam melaksanakan upacara “ itu masih paman saya “, tambahnya menjelaskan dengan bangga karena dia tahu aku sangat tertarik akan upacara yang unik itu.

Sudah merupakan tradisi bagi suku Dayak Benoaq , setiap menjelang upacara adat , tuan rumah berkeliling ke tetangga-tetangga untuk mengundang agar datang pada upacara tersebut. Rasa kekeluargaan mereka sungguh besar. Sumbangan berupa beras dan uang selalu mengalir dari mereka yang di undang.

Sore , jam 18.30 sudah terdengar suara gendang dan kenong musik BELIAN. Sayup-sayup seperti suara music kuda lumping , kadang –kadang seperti komidi kera di Jawa. Sengaja aku tak pergi mengikuti dari awal. Karena puncak acara baru tengah malam nanti. Dan akhir bulan maret yang lalu sudah melihat di Mancong yang berjarak 12 km dari Tanjung Isuy

RUMAH HANTU

Sekitar jam 22.00 saya berangkat bertiga dengan perahu yang berjarak 150 km. dari tempat saya menginap. Kami langsung menuju tempat upacara lewat dapur.
Di dalam sudah sesak. Banyak orang tua muda tak luput dari anak –anak memenuhi ruangan yang berukuran 5 x 8 m tersebut. Bukan hal asing lagi wanita wanita asyik dengan rokoknya, terutama yang berusia lanjut. Sekeliling ruangan terpasang rumbai-rumbai janur dengan warna merah, kuning, hijau, warna khas untuk upacara adat suku Dayak Benoaq.

Dalam ruangan terbagi tiga tempat. PESENGKIT, BAJAWO , dan TEMPAT HEWAN KORBAN.
PESINGKIT ( meja persembahan ) merupakan ruangan yang di tata khusus , sebagai latar belakang ruangan tersebut. Pesingkit berbentuk panggung yang di kelilingi rumbai- rumbai janur dan kain berwarna warni. Diatas panggung ini terdapat rumah rumahan berbentuk limas beratapkan kain merah. Tak ketinggalan pula tangga kecil yang di buat sebagai tangga untuk menuju limas tersebut. Sebagai puncak limas ini terdapat menara kecil yang puncaknya di pasang rumah kecil ( seperti pagupon rumah merpati ) Tempat inilah yang maksudnya sebagai rumah hantu .

Sebagai persembahan kepada hantu , di dalm limas ini di beri NASI PAKAT , yaitu nasi ketan yang di beri warna merah , kuning , hijau dengan bentuk patung manusia. Patung dari nasi ketan tersebut di maksudkan sebagai pengganti si sakit , agar hantu yang menggangu mau pindah ke patung tersebut.

Di depan pesingkit terdapat BAJAWO , yaitu tempat dan senjata untuk memanggil dan berkomunikasi dengan hantu maupun roh halus. Bajawo ini juga di batasi rumbai-rumbai janur di atasnya. Apabila tukang Belian ( dukun ) berkomunikasi dengan hantu , selalu memegang bajawo , sambil menari dan membaca mantera-mantera dalam bahasa Dayak Benoaq.

Di depan Bajawo terdapat hewan-hewan korban berupa 5 ekor babi yang masih hidup , di ikat terbaring di lantai yang terbuat dari kayu ulin. Agar babi tidak membahayakan, di ikat sedemikian rupa dengan kayu yang di pakukan ke lantai , sehingga babi hanya bisa berteriak- teriak .

Upacara seperti itu memang memerlukan persiapan yang unik dan rumit sehingga pelaksanaanya selalu di lakukan dengan gotong royong . kadang –kadang untuk ramuan-ramuan saja memerlukan waktu sampai tiga hari. Bahkan lebih dari Rp. 700.000 biaya yang di perlukan dalam upacara bunuh babi di kampung Perigi yang terdiri dari dua RT in.

Upacara bayar niat adalah upacara untuk memebayar janji / niat pada waktu masih sakit. Kepercayaan suku Dayak Benoaq, terutama masih Animisme , orang yang sakit di anggap dalam tubuhnya di ganggu roh-roh jahat/ hantu. Untuk mengusir hantu yang masuk ke dalam tubuh si sakit , di obati dengan cara Belian . ( turis –turis asing sering menyebut DOKTER DAYAK )

Dalam belian di kemukakan oleh tukang belian , apabila si sakit sembuh ( hantu tidak mengganggu lagi ) , nantinya akan di beri makan berupa ayam, babi, ataupun kerbau. Dari sinilah timbulnya upacara Bayar Niat itu.

MELEPASKAN NIAT

Permulaan upacara bayar niat yang di lakukan selama tujuh malam ini , hanya membaca mantra-mantra sampai malam ke lima. Tentu saja sambil menari – nari sebagai cirri khas dukun Dayak Benoaq. Malam-malam itu berakhir sekitar jam 12 malam, begitu seterusnya sampai malam ke lima

Barulah menjelang malam ke enam dank e tujuh , upacara ini di mulai agak awal dan juga berakhir larut malam. Bahkan untuk malam terakhirnya bisa sampai pagi kalau di anggap belum selesai.

Pada puncak acara malam ke tujuh , orang-orang yang ingin ikut Bayar Niat sudah berkumpul untuk menyampaikan binatang korbanya pada kepada tukang Belian. Bagi mereka yang memepersembahkan hewan babi , tentu sebelumnya sudah bermusyawarah untuk mengadakan upacara bersama-sama.

Pada malam itu juga di laksanakan upacara ULAP UAG , yaitu untuk melepaskan niat mereka dengan cara memegang ayam dan kakinya menginjak babi. Pertanda kalu niatnya sudah di lepas apabila tukang belian sudah melingkar kan kain yang berbentuk lingkaran ke tubuh orang yang bayar niat , kemudian memeotong lingkaran tersebut. Begitulah berganti-ganti, hingga masik pengiring berhenti dan orang ulap uag selesai.

MENGGOROK BABI

Selanjutnya tampak empat orang berpakaian sama seperti Pak Ding yang memimpin upacara tersebut, dan juga orang yang di kenal pandai belian. Rok panjang , ikat kepala kotak-kotak merah hitam dengan mahkota janur, dan gelang tangan dari janur pula. Itulah pakaian kebesaran orang belian

Musik yang terdiri dari satu gong , 4 kenong , dan 3 gendang pun di mulai berbunyi ketika pak Ding menghentakan kakinya ke lantai tiga kali. Mereka menari bersama- sama di pimpin pak Ding sambil membawa ayam mengelilingi babi yang di ikat berjajar di lantai. Orang-orang tersebut tak lain juga tukang belian anak buah Pak Ding.
Sambil menari mereka mencari orang-orang tertentu yang di anggap mengerti belian , kemudian memberikan segenggam beras yang telah di manterai, lantas ikut menari bersama-sama. Sekali-kali berhenti, kakinya menginjak babi sambil menaburkan beras di ikuti mencabut bulu babi. Kemudian menari ,emgelilingi babi.

Jerit babi ikut menghiasi musik yang makin keras iramanya , tak tahu nasib apa yang sebentar lagi menimpa. Tarian pun makin keras , seperti orang berkejar-kejaran berkeliling.

Tiba-tiba para penari berhenti. Di pimpin Pak Ding, berjongkok menggorok leher babi bersama-sama dengan pisau kecil ( badik ). Saya hanya bengong.
Untuk mengabadikan mengalami kesulitan , karena penuh sesak orang-orang yang membawa mangkok meminta darah babi. Sementara ada anak kecil sekitar 11 tahun dengan bangga ikut menggorok leher babi. Mau mendekat , kawatir tersembur darah babi yang muncrat ke lantai.
Ngeri!

Jerit babi yang histeris menjadi kebanggaan mereka. Ayam-ayam yang telah di siapkan tak ketinggalan di sembelih pula. Babi-babi pun di angkat ke dapur dengan karung untuk di masak.

MENGUSAP DARAH

Sementara masih mengalun perlahan , 3 orang tukang Belian masih menari-nari di sekitar bajawo, memberitahukan kepada hantu bahwa bayar niat sudah selesai. Pak Ding dan seorang pembantunya mengadakan acara lain , mengusap darah di tubuh anak-anak. Ada yang di usap kepalanya perut, sesuai dengan sakitnya. Apabiala darah tersebut di usapkan , hantu yang mengganggu akan keluar mamakan darah tersebut.

Di lain tempat , sudah tersedia bak besar berisi air yang di campur darah babi. Orang-orang yang ikut bayar niat membasuh muka , bahkan yang mandi keramas . tak ada rasa jijik. Selain hal yang di lakukan benar benar obat yang mujarab.

Saya baru ingat, bahwa penduduk Perigi memeluk agama katolik dan protestan , selain yang masih animism.

Music telah berhenti , namun orang belum ada yang beranjak pulang. Mereka menunggu makan bersama dengan daging babi yang di masak. Saya pulang duluan , karena kawatir mereka tersinggung kalau saya tak mau makan.

Esok harinya masih ada acara baca mantera sebagai penutup upacara bayar niat. Dalam kesempatan itulah pembagian daging babi di laksanakan. Daging utama yang di bagikan kepada tukang belian adalah kaki sebelah kiri. Daging yang lain terserah pemiliknya.

Sebagai upah tukang belian , selain daging babi , juga beras , kain untuk alat upacara , tombak, parang dan uang sekedarnya dari yang punya hajat.

ANGGREK ALAM

Jam 11.15 saya berangkat pulang dengan perahu orang tanjung Isuy yang baru datang dari Mancong. Saat yang sudah lama saya nantikan, perjalanan lewat sungai ohong yang terkenal indah akan anggreknya. Sungai inilah yang menghubungkan kampung tanjung Isuy , Perigi , Mancong, Pentat , Lembonah dan muara tae.

Pemandangan di sekitar sungai cukup memukau. Air berwarna coklat keruh, dengan akar-akar pohon serta dahan yang menjulur manja ke sungai. Kadang-kadang rombongan perahu berjumlah 10 orang harus menundukan kepala terhalang pohon yang hampir tumbang ke sungai.

Memang menakjubkan kekayaan alam di sekitar sungai ini. Anggrek daun tumbuh dengan indahnya tanpa terusik oleh polusi dan usil tangan manusia. Rasanya tangan ini gatal ingin memetiknya. Sayang air sedang naik , sehingga sulit untuk memanjat . tiba-tiba perahu yang di dorong mesin diesel itu di perlambat . anak-anak berteriak girang kepada saya sambil menunjuk bekara ( kera merah berhidung mancung) asyik bergelantungan di tepi sungai. Sayang, tak sempat mengabadikan , bekara tersebut keburu lari masuk hutan

Sekitar 5 km perjalanan terdapat kampung Tanjung Serang yang terdiri dari sepuluh rumah. Terlihat dua buah antenna televisi ( TV ) . seperti halnya kampung Perigi , penduduk kampung ini berladang dan nelayan .

Memang di lihat dari bentuk rumah sederhana tanpa polesan kapur dan tak kenal kamar-kamar , meja kursi , dapat di katakan suku Dayak Benoaq berekonomi lemah. Tapi jika melihat perhiasan yang di pakai dan mampunya melaksanakan upacara adat , ( seperti belian misalnya ) sekali belian untuk menyembuhkan orang sakit sekitar Rp. 100.000 uang di perlukan. Dan hampir setiap keluarga mampu mengadakan belian .
Sayangya , kesadaran terhadap pendidikan masih kurang , karena banyaknya penduduk yang masih buta huruf.

SEMBAHYANG JUMAT DI ATAS PERAHU

Perahu yang kami tumpangi telah sampai di Tanjung Ridan yang terkenal dengan anggrek tanahnya. Disini cukup setrategis untuk mendirikan tanda selain tempatnya yang teduh dan indah , juga ada tanah yang lapang.

Sungai Ohong yang indah telah kami lalui , hingga tiba di muara. Di sini terdapat kampung yang 100 % beragama islam, pendatang dari suku banjar. Tampak sebuah gedung SD terendam air dan beberapa rumah penduduk yang kemasukan air.

Yang paling mengagumkan, masjid yang tergenang air pun bukan penghalang bagi penduduk untuk melaksanakan sembahyang jum`at. Tampak perahu berjajar rapi membentuk shaf ke belakang di dalam masjid sebagai tempat sembahyang. Saya baru ingat kalau hari itu hari jum`at

Rasa kagum masih mencekam otak saya, ketika perahu telah meninggalkan kampung yang terkenal sebagai penghasil ikan lele tersebut. Kini jalan yang kami lewati adalah Danau Jempang.

Kembali teringat 12 Januari yang lalu, ketika pertama kali datang ke Kec. Jempang sebagai guru SMP di Tanjung Isuy, yang jarak 250 km barat laut Samarinda, harus ditempuh selama 21 jam dengan kapal kecil.

Bayangan suku Dayak Benoaq yang masih primitive tak kujumpai di kampung baru ini. Bahkan sebaliknya, keramahtamahan dari penduduk yang mirip orang Cina dan banyak berlesung pipit, membuat saya agak kerasan (Cuma agak lho !).

Namun setalah menyadari keunikan-keunikan yang tak pernah kujumpai di Jawa, membuat bangga dan kesan tersendiri tersendiri. Cukup mengagumkan memang. Tak heranlah kalau banyak turis asing yang ingin melihat Lamin Adat dan kebudayaan Dayak Benoaq yang terkenal dengan tarian-tariannya.

Lamin Tanjung Isuy yang masih terawat sampai sekarang. Tersedia kamar untuk menginap para tamu.
(Lamin TanjungIsuy is still maintained until now. Available rooms for overnight guests).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar